POROSMAJU.COM, Nurhayati Rahman dalam bukunya yang berjudul “Cinta, Laut dan Kekuasaan dalam Epos La Galigo (2006)” menjelaskan bahwa syaraq (syariah) dan adeq (adat) menjadi dua hal yang saling menemukan bentuk dalam dinamika kehidupan masyarakat Bugis.
Saat kehidupan diatur dengan pangngaderreng (undang-undang sosial) sebagai falsafah tertinggi yang mengatur masyarakat sampai penaklukan seluruh tanah Bugis tahun 1906, maka unsur yang awalnya hanya terdiri atas empat kemudian berubah menjadi lima.
Ini untuk mengakomodasi diterimanya Islam sebagai pegangan hidup. Sistem yang saling mengukuhkan pangngaderreng didirikan atas 1) wariq (protokoler kerajaan), 2) adeq (adat-istiadat), 3) bicara (sistem hukum), 4) rapang (pengambilan keputusan berdasarkan perbandingan), dan 5) saraq (syariat Islam).
Maka, fragmen sejarah ini kemudian menjadi karakter penting bagi orang Bugis. Dalam pandangan Pelras (1996) bahwa ada dua sifat yang senantiasa menjadi saling berkaitan. Bukan bertentangan, tetapi saling melengkapi. Di satu sisi, selalu terbuka terhadap perkembangan dan kemajuan yang ada sekarang dan yang akan datang.
Pada saat yang sama, di sisi lain bersemayam kesadaran akan masa lampau untuk selalu menjaga tradisi dan pesan orang tua.
Gambaran tersebut sejalan dengan beberapa tradisi yang masih dipertahankan sampai saat ini. Satu di antaranya adalah tradisi macceraq.
Tradisi macceraq yang akan dibahas di sini adalah sehubungan dengan pemotongan satu ekor ayam dan segantang (empat liter) beras ketan (sokkoq) setiap khatam dalam setiap bacaan al-quran di surah tertentu.
Pagi ini, terlihat beberapa ibu-ibu berbaris membawa baskom di atas kepala yang masing-masing berisi rebusan ayam, nasi, dan sokkoq. Barisan tersebut mengarah pada sebuah rumah guru mengaji di Dusun Kanjitongan.
Selepas rombongan tersebut disambut, ditatalah bawaan masih di dalam baskom untuk disurobbaca dengan dupa menyala di sebelahnya, setelah itu disajikan untuk dimakan bersama.
Salah seorang guru mengaji di Dusun Kanjitongan, Desa Mattirotasi, Kabupaten Maros menuturkan tentang tradisi macceraq saat ditemui di kediamannya, Selasa, 6 Maret 2016.
“Ada tujuh, Alfatihah, Iqra, Amma, Aliflammim, Subhana, Tabara, dan Yaasin,” urai Liana.
Dia juga menuturkan bahwa ayam yang digunakan tidak boleh sembarangan.
“Tidak boleh sembarangan, jangan ayam potong karena umurnya rata-rata hanya 40 hari, sementara ayam yang digunakan harus berumur 4-6 bulan,” tambahnya.
Ibu berusia 58 tahun ini juga menolak jika dikatakan bahwa tradisi ini adalah musyrik, ia menganggap bahwa tradisi ini adalah wujud sedekah kepada guru mengaji.
“Dulu, guru mengaji tidak mendapatkan santunan, jadi hal tersebut sama dengan sedekah. Tapi sekarang kadang orang hanya memberikan santunan sebesar Rp 150.000_,” tuturnya.
Selain itu, terdapat pula aturan tentang siapa saja yang diperbolehkan menyembelih ayam dan massokkoq. Liana meyakini bahwa ayam harus disembelih di lingkungan rumah.
Macceraq adalah kata dalam bahasa Makassar yang artinya berdarah, mungkin di sinilah intinya. Ketika ditanya demikian, Liana hanya menjawab sekenanya.
“Makkuni ro kapang, diceraki manuq”, yang kurang lebih artinya, mungkin begitulah, diperoleh darah dari ayam.
Di tempat yang berbeda, Dg. Mangka yang dipercayakan untuk menyembelih ayam sehari sebelumnya menjelaskan keyakinannya.
“Tidak boleh sembarangan, harus yang biasa. InsyaAllah harus terjaga ibadahnya,” tuturnya.
Sementara orang-orang yang boleh massokkoq, hanyalah perempuan yang telah memasuki fase monopous. Perempuan yang sedang menstruasi pun dilarang ikut andil dalam prosesi ini, sekalipun hanya mencuci beras yang akan dimasak.
Islam sebagai Pegangan Hidup dan Kesadaran Masa Lampau dalam Tradisi Macceraq
Admin3 min read