POROSMAJU.COM, Puisi dalam perkembangannya mengenal beberapa perjalanan yang disepakati banyak orang. Di awal tumbuhnya, puisi masih disejajarkan dengan mantra, pantun, dan syair. Begitulah puisi pada periode Balai Pustaka.
Di masa selanjutnya berkembanglah puisi-puisi yang melepaskan diri pada aturan-aturan konvensional. Barulah kemudian, kita mengenal nama Amir Hamzah, Chairil Anwar, W.S. Rendra, Sapardi Djoko Damono, dan seterusnya (Denny J.A. tentu tidak termasuk).
Sebenarnya, ada banyak sekali nama dan karya sastra luar biasa ,terutama ketika kita menilik puisi-puisi lama. Cocoklah untuk kebutuhan caption tapi bahkan nama seperti Chairil Anwar tidak begitu sukses dalam rana per-caption-an.
Kenapa demikian? Jawabannya karena kita sudah punya standar yang dipatenkan oleh dunia antah berantah kutipan.
Dunia kutipan selalu menampakkan sebagian yang mewakili seluruh. Orang-orang akan berpacu dengan waktu luang untuk mencaplok atau menciptakan potongan kata yang (terpaksa) dimetaforakan.
Kita berlomba-lomba menjadi puitis juga bijak dengan modal mem-follow akun anonim atau buku bacaan popular yang digadang-gadang akan difilmkan. Luar biasa simpel hidup ini. Klaimlah kata-kata indah, namai puisi, amanlah citra diri kita di dunia per-caption-an.
Berikut berturut-turut kutipan “Sunset Bersama Rosie” karya Tere Liye dan “Padamu Jua” karya Amir Hamzah yang bisa langsung dipahami kehebatan masing-masing.
“Aku harus segera menyibukkan diri. Membunuh dengan tega setiap kali kerinduan itu muncul. Berat sekali melakukannya, karena itu berarti aku harus menikam hatiku setiap detik.”
“Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu”
Dari contoh kutipan di atas bisa ditebak mana yang peminatnya lebih banyak. Kutipan pertama lebih mudah dipahami makanya banyak diminati. Demikianlah karya yang menduduki tangga teratas per-caption-an, namanya sastra pop. Kebalikan dari itu dikenal istilah sastra elite.
Sebagai sebuah arena perjuangan, sastra popular lebih menyentuh masyarakat banyak daripada sastra elite. Arena kekuatan massal membentuk jaringan yang lebih luas dalam masyarakat.
Dengan demikian, sastra popular lebih memiliki arena kekuatan yang lebih luas untuk mendekonstruksi gaya hidup masyarakat pembacanya. Masyarakat gaya hidup selow-melow penikmat senja dan hujan.
Dalam kondisi tertentu pengarang sastra populer tidak memiliki wewewang karena keberadaannya sangat ditentukan oleh selera masyarakat pembacanya, sehingga pengarang sastra popular harus tunduk pada formula-formula yang digemari masyarakat.
Maka sampailah kita pada kesimpulan bahwasanya penyair-penyair besar seperti Chairil Anwar, Amir Hamzah, Taufik Ismail, N.H. Dini, dan lain-lain pada gilirannya masih kalah oleh Tere Liye dan Boy Candra, misalnya, dalam dunia per-caption-an. Kasihan. Saya!
Karya yang Menduduki Tangga Teratas Dunia Per-caption-an
Read Also
Oleh : Muh. Haidir hakim, S.P., M.Si POROSMAJU.COM…
Oleh : Rahmat Ariandi, S.Hut., M.Hut – Dosen…