Oleh : Rahmat Ariandi, S.Hut., M.Hut – Dosen Kehutanan Unismuh Makassar
POROSMAJU.COM – Dalam beberapa tahun terakhir, pertambahan jumlah penduduk di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup siginifikan. Akibat dari itu, kebutuhan akan tempat tinggal juga semakin meningkat. Selain itu, terjadi penyusutan lahan yang disebabkan oleh kepentingan pengembangan industry dan kegiatan non-pertanian lainnya. Beberapa kerusakan lingkungan juga terjadi dimana-mana akibat konversi lahan Kawasan hutan yang tidak mengikuti kaidah pemanfaatan dan pengelolaan lahan. Akibat dari bertambahnya jumlah penduduk, kebutuhan akan pangan juga semakin meningkat dan hal tersebut membutuhkan lahan untuk pertanian yang lebih luas.
Salah satu pelaku tingkat tapak yang merasakan dampak dari itu semua adalah petani. Petani yang merupakan benteng terakhir dalam menjaga ketahanan pangan cukup dibuat dilematis dengan kondisi tersebut. Padahal petani bisa dikatakan sebagai salah satu pahlawan nasional dikarenakan perannya dalam menjaga stabilitas dan stock pangan. Petani dengan terpaksa hanya memanfaatkan lahan walau terbilang lahan yang digarap adalah lahan yang memiliki kelerengan yang cukup curam dan lahan kering akibat dari menyusutnya lahan produktif yang telah disulap dengan bangunan tempat tinggal dan pusat industri. Pengelolaan lahan di kawasan dengan kelerengan yang cukup curam berpotensi mengakibatkan erosi tanah. Erosi tanah adalah suatu proses yang menyebabkan terlepasnya partikel-partikel tanah sebagai akibat tenaga air, angin dan pengalirannya kedaerah yang lebih rendah.
Air hujan yang jatuh ke permukaan tanah Sebagian merembes ke dalam tanah, Sebagian kecil menguap dan Sebagian lagi mengalir di permukaan tanah menuju ke tempat yang lebih rendah dan aliran permukaan inilah yang menyebabkan erosi. Selain itu, pemilihan dan penggunaan teknologi pertanian juga menjadi salah satu penyebab terjadinya degradasi lahan dan erosi tanah. Dengan tingginya erosi tanah yang ada di beberapa daerah hulu khususnya dalam Kawasan hutan mengakibatkan menurunnya produktivitas lahan. Produktivitas lahan yang rendah menyebabkan tingkat pendapatan petani yang selama ini menggantungkan hidupnya dalam dunia pertanian juga semakin kurang sehingga terjadi proses saling memiskinkan antara petani dan lahan yang diusahakan.
Mengenai permasalahan transisi demografi dan permasalahan dalam pengelolaan lahan saat ini, petani membutuhkan sebuah teknologi atau sistem pengelolaan lahan yang memenuhi aspek ekonomi, sosial, dan ekologi didalamnya. Salah satu solusi dalam pemanfaatan lahan yang berkelanjutan (sustainability) adalah Agroforestry System. Sistem Agroforestry merupakan sebuah sistem pengelolaan lahan yang memadukan tanaman, pertanian, kehutanan, dan juga peternakan pada areal yang sama. Keuntungan dari sistem ini dari aspek sosial-ekonomi adalah mampu meningkatkan pendapatan ekonomi petani yang bersumber dari beberapa jenis komoditi yang dikelolanya. Baik itu dari tanaman pertanian (Semusim), tanaman kehutanan, maupun peternakan. Seperti yang kita ketahui selama ini, tingkat ketergantungan pendapatan petani hanya berpusat pada sistem monokultur (satu jenis tanaman saja yang dibudidayakan) sehingga tidak ada pendapatan yang bersumber dari sektor lainnya. Akibatnya, ketika terjadi kegagalan hasil panen dan harga hasil komoditi pertanian yang mengalami Fluktuatif maka pada posisi ini, petani merasakan kerugian yang sangat besar dan inilah yang menyebabkan aspek kesejahteraan petani mengalami kemunduran. Dengan adanya pola agroforestry ini, diharapkan mampu membantu dalam meningkatkan ekonomi petani di pedesaan terlebih lagi sistem ini cukup terintegrasi dan juga berkesinambungan. Selain itu, pola agroforestry dapat menjadi rekomendasi bagi pemerintah dan petani dalam menumbuhkan serta menguatkan ekonomi nasional dari sektor pertanian dengan adanya penerapan system ini.
Sedangkan dari aspek ekologi, keberadaan sistem agroforestry yang diterapkan di lahan masyarakat khususnya yang berada di kawasan hutan maupun areal penggunaan lahan lainnya (APL) mampu menimalisir terjadinya erosi tanah dikarenakan komposisi jenis penyusun yang ada didalamnya yang beragam mampu menahan laju pengikisan tanah di daerah hulu ketika datang musim hujan. Di Tahun 2022 ini, Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan (KLHK), sedang mengkaji dan mengembangkan kebijakan FOLU NET SINK 2030 yang berisi target NDC yang akan dicapai oleh Indonesia dalam mengurangi emisi karbon. Tantangan kedepan cukup memperihatinkan dikarenakan indonesia di hadapkan dengan tantangan resesi, baik itu resesi ekonomi, resesi pangan, dan juga persoalan perubahan iklim (Climate change). Salah satu pola yang ditawarkan oleh KLHK dalam mengurangi emisi karbon adalah penerapan system agroforestry. Sistem ini di anggap cukup efektif dan ramah lingkungan karena dalam pengelolaan lahan dikawasan hutan terintegrasi aspek ekologi, sosial dan ekonomi di dalamnya. Sehingga banyaknya konversi lahan dikawasan hutan menjadi lahan pertanian yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah ekologi mampu di minimalisir dengan sistem agroforestry ini.
Ada beberapa pola agroforestry yang dapat menjadi rekomendasi bagi petani yang akan menerapkannya, diantaranya adalah pertama sistem agrosilvikultur, yang merupakan sistem agroforestry yang memadukan tanaman pertanian (musiman), dan tanaman kehutanan dalam satu areal yang sama. Kedua, sistem agrosilvopastore, merupakan sistem agroforestry yang memadukan tanaman pertanian, tanaman kehutanan, dan juga peternakan (sapi, lebah,ikan) dalam areal yang sama, ketiga sistem agrosilvofishery merupakan salah satu sistem agroforestry yang memadukan tanaman, pertanian,kehutanan, dan juga perikanan didalam areal yang sama. Dari beberapa sistem agroforestry yang disebutkan, mampu menjadi rekomendasi dan pilihan alternatif bagi petani dalam memanfaatkan lahannya sehingga harapan kedepannya adalah dengan adanya sistem ini mampu memperkuat dan menjaga aspek ekologi ditingkat tapak, sekaligus menjadi sektor lahirnya ketahanan pangan dan kebangkitan ekonomi nasional disektor pertanian.