Oleh: Andi Asywid Nur
(Sosiolog Pendidikan)
POROSMAJU.COM – Setiap tanggal 2 Mei, bangsa ini memperingati Hari Pendidikan Nasional sebagai wujud penghormatan terhadap Bapak Pendidikan, Ki Hadjar Dewantara. Namun, di tengah gema perayaan itu, masih tersimpan paradoks yang menyayat, yaitu ketimpangan akses dan mutu pendidikan yang kian menganga. Jika pendidikan adalah hak, mengapa ia hanya dinikmati segelintir kelompok?
Karl Marx pernah mengungkapkan bahwa struktur sosial dibangun atas relasi ekonomi, di mana kelas pemilik modal mengontrol suprastruktur, termasuk sistem pendidikan. Dalam kerangka ini, pendidikan di Indonesia sejatinya belum berdiri netral. Ia cenderung berpihak pada mereka yang mampu membeli akses, dan secara sistemik menyingkirkan kelompok marginal.
Data Badan Pusat Statistik dan sejumlah kajian menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga miskin, khususnya di daerah pedesaan, menghadapi banyak hambatan, seperti jarak sekolah, minimnya fasilitas, hingga keterbatasan ekonomi. Sementara itu, anak-anak dari keluarga berada di perkotaan menikmati sekolah unggulan dengan segala keistimewaannya. Ini bukan sekadar kebetulan, tapi merupakan hasil dari ketimpangan struktural yang diwariskan dan dilanggengkan.
Dalam kacamata Marxian, sekolah bukanlah tempat netral untuk pembebasan, melainkan arena reproduksi kelas sosial. Sekolah elite mencetak generasi pemimpin, sementara sekolah pinggiran melatih ketaatan dan kepasrahan. Maka jangan heran jika jurang sosial antar kelompok semakin melebar, karena sejak dini anak-anak sudah dididik dalam ruang yang berbeda.
Penelitian Aditomo dan Felicia (2018) menunjukkan bahwa perbedaan skor literasi PISA antara siswa di sekolah berkualitas tinggi dan sebagian besar sekolah lain mencapai 2,5 hingga 4 tahun pelajaran. Artinya, ada generasi yang tertinggal sebelum sempat memulai. Ini bukan semata soal prestasi individu, tetapi sistem yang menyeleksi berdasarkan status sosial-ekonomi.
Pandemi COVID-19 memperparah ketimpangan. Gelombang PHK membuat banyak keluarga kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, apalagi pendidikan. Sementara sekolah-sekolah swasta yang mahal tetap bertahan dengan bantuan teknologi dan biaya orang tua, sekolah-sekolah miskin terseok tanpa dukungan memadai. Lagi-lagi, kelas pekerja menjadi korban paling awal dan paling parah.
Meski pemerintah telah menggelontorkan berbagai kebijakan afirmatif seperti zonasi dan BOS, namun tanpa pembenahan struktural, solusi ini hanya bersifat tambal sulam. Dalam perspektif Marx, tidak cukup memperbaiki bangunan yang timpang, kita perlu mengganti fondasinya. Pendidikan tidak bisa berdiri sendiri tanpa keadilan ekonomi yang menyertainya.
Harus kita akui, dalam sistem kapitalisme, pendidikan dijadikan komoditas. Ia dipasarkan, dipromosikan, bahkan dikomersialkan. Maka pendidikan tidak lagi hadir sebagai hak, tapi sebagai “privilege” yang hanya bisa dibeli. Hal ini sangat bertentangan dengan semangat Ki Hadjar Dewantara yang memimpikan pendidikan sebagai pembebas, bukan pembeda.
Momentum Hardiknas tahun ini seharusnya menjadi peringatan keras bahwa selama ketimpangan sosial-ekonomi tidak ditangani secara serius, maka pendidikan yang merata hanyalah ilusi. Pemerintah harus hadir bukan hanya dengan kebijakan administratif, tapi dengan visi perubahan sosial yang mendasar.
Kita membutuhkan reformasi pendidikan yang berlandaskan keadilan sosial, bukan hanya kompetisi pasar. Sekolah harus menjadi ruang pembebasan, bukan reproduksi ketimpangan. Anak petani, nelayan, buruh, dan pengemudi ojek online harus punya peluang yang sama untuk belajar, tumbuh, dan bermimpi seperti anak pejabat dan pengusaha.
Di hari pendidikan ini, mari kita bertanya ulang, untuk siapa pendidikan kita hadir? Jika jawabannya masih untuk yang kuat dan berkuasa, maka sudah saatnya kita bersuara. Pendidikan bukan milik satu kelas, tapi hak semua anak bangsa. Sebab hanya dengan itulah, bangsa ini bisa disebut benar-benar merdeka.