POROSMAJU.COM, Buku dengan judul asli Genanse og Verdighet ini terbit pertama kali pada tahun 1994, kemudian diterjemahkan dari bahasa Norwegia ke bahasa Indonesia oleh Irwan Syahrir dan diterbitkan pertama kali oleh penerbit Marjin Kiri pada tahun 2016.
Semakin lama seseorang melakoni hidup, akan semakin banyak hal yang ia sadari.
Elias Rukla, menjalani hidup sebagaimana biasanya. Bangun lebih awal di pagi hari, menyiapkan kemeja yang cemerlang, dan menghabiskan sarapan dengan diam bersama istri yang telah menggendut.
Elias mungkin tak pernah mengira bahwa di kehidupannya yang telah berjalan selama 50 tahun, seketika terasa sia-sia hanya karena perkara payung.
Suatu hari pada musim gugur di bulan Oktober, Elias bergegas menuju Sekolah Menengah Atas Fagerborg. Menyadari cuaca yang menunjukkan akan turun hujan, membuatnya berpikir bahwa penting untuk membawa payung lipatnya.
Tapi sesuatu terjadi ketika ia hendak meninggalkan sekolah di jam terakhir. Payung hitam miliknya tidak bisa membuka, seketika, tanpa disadari ia meluapkan amarahnya. Ia menginjak dan membanting payung tersebut dan tanpa sengaja melukai tangannya sendiri.
Kekesalan itu bertambah ketika ia menyadari murid-muridnya berkerumun. Wajah-wajah yang ia tahu hanya menghormatinya di kelas, yang selalu terlihat mengantuk ketika ia mengajarkan mata pelajaran Bahasa Norwegia, siswa-siswa di tahun terakhir yang selalu menatapnya dengan kebencian jika disuruhnya mereka membaca drama Ibsen Itik Liar . Pengabdiannya selama 25 tahun seolah terlupakan olehnya.
Ia berjalan pulang tapi tidak mengambil arah seperti biasanya. Ia gamang memikirkan tindakan yang baru saja dilakukannya. Perasaan terkungkung itu tiba-tiba menyeruak. Kehidupannya sebagai seorang guru bahkan sebagai seorang suami seolah tidak bermakna sama sekali.
Dag Soltad melalui tokoh Elias Rukla seolah ingin menyuarakan hidup yang memuakkan. Sesuatu itu terus berulang dan kehilangan makna, dalam kondisi yang demikian, hidup yang telah berjalan selama ini seolah tidak berarti sama sekali. Ia menemui keputusasaannya di tengah kemapanan dan tiba-tiba merasa kesepian.
Dalam situasi yang seluruhnya kekalutan, tiba-tiba ia mengenang satu per satu kejadian-kejadian di masa lalu. Semangat masa muda yang penuh ambisi, mengejar-ngejar cinta Eva Linde yang begitu cantik. Perempuan yang berhasil diperistri namun merasa tak pernah ia miliki. Sampai pada ketekunannya sebagai seorang guru seolah sia-sia.
Demikianlah tatanan masyarakat mapan digambarkan melalui jalan hidup Elias. Memiliki pendidikan yang baik pun memiliki istri yang begitu cantik dan pekerjaan tetap. Sesuatu yang di masa lalu dipikirnya sebagai sesuatu yang wajar dan kini diakuinya sebagai sebuah ketololan.
Kisah hidup Elias seolah ingin menyampaikan bahwa beginilah hidup yang sebenarnya. Tanpa mengenyampingkan objektivitas, Dag Soltad seolah ingin mengajak pembaca untuk bersepakat.
“Bermula sebagai komedi dan berakhir sebagai tragedi.” – The New York Sun
Demikian The New York Sun meninggalkan komentar terhadap tulisan Dag Soltad tersebut. Bermula dari komedi payung yang rusak dan berakhir menjadi penyesalan hidup semacam tragedi. Namun mau tidak mau, fase yang bernama hidup ini mesti dilalui, dengan segala aturan, inilah hidup yang sebenarnya. Manusia biasa menamainya norma.
“Ini mengerikan, tapi tidak ada lagi jalan kembali.” Kalimat itulah yang ditulis Dag Soltad ketika mengakhiri cerita Sang tokoh utama, Elias Rukla.
Review Buku Aib dan Martabat Karya Dag Soltad
Your Content Goes Here