POROSMAJU.COM, Televisi turut mengambil andil menjadikan kemiskinan sebagai tontonan yang bersifat komoditas. Sepertinya, pihak televisi menemukan cara yang lebih dapat diandalkan selain produksi sinetron, yang pemeran utamanya adalah Si miskin, taat beribadah namun selalu mendapat perlakuan tidak adil.
Acara televisi dengan konten yang bebeda pun, sebisa mungkin diselip-selipi sesi yang mengundang haru. Seolah mereka paham bahwa begitu banyak di antara penonton kita yang menyenangi drama dengan tema kemiskinan.
Kebahagiaan juga kesedihan menular dengan cepat
Saiful Totona dalam buku Miskin itu Menjual (2010) memaparkan dua hal pokok yang dianggap sebagai faktor dari kemisinan. Yang pertama, seperti yang dikatakan Karl Marx dalam konteks agama itu candu.
Orang-orang yang taat beragama akan percaya bahwa miskin itu adalah kehendak Tuhan. Takapa, tetaplah beribadah karena di akhirat ada surga yang di dalamnya terdapat segala hal yang tidak bisa disapatkan di dunia.
Sedang yang dicanang-canangkan pemerintah, kemiskinan terjadi karena adanya kemalasan pihak individu. Oleh pihak penguasa, melalui media massa dan kampanye, diberilah gambaran bahwa kemiskinan disebabkan oleh kemalasan.
Ini sama persis dengan pendapat kapitalisme: bukan karena pemiskinan struktural yang dilakukan oleh pemerintah seperti yang terlihat di berbagai tempat di Indonesia.
Jadi disepakati bahwa kemiskinan terjadi karena takdir yang tidak dapat diubah dan nasib yang tidak bisa diperbaiki oleh sebagian besar orang.
Entah siapa yang memengaruhi siapa, yang pasti, masyarakat bersepakat bahwa bantuan yang bersifat instan adalah suatu bentuk kebaikan.
Mereka (kehidupan miskinnya yang dieksploitasi) mungkin tidak menyadari bahwa uang senilai Rp10 juta, misalnya, tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan keuntungan televisi yang diperoleh melalui iklan di setiap episodenya.
Belum lagi jika testimoni dihadirkan, bukankah itu suatu perbuatan riya? Jika berbuat baik, hendaknya hanya kita dan Tuhan yang tahu dong!
Kemudian peserta penerima ‘rezeki’ biasanya diberi tantangan. Katanya hal tersebut untuk melihat usaha si peserta. Padahal, Kalau mau kasih, ya kasih saja!
Kemudian Si pembawa acara akan berbicara panjang lebar yang kurang lebih artinya ‘lakukan saja sekuat tenaga, begitu banyak orang yang ingin berada di posisimu sekarang. Betapa beruntungnya dirimu!’
Belum lagi jika kemiskinan dipertontonkan dengan format reality show. Sisi memprihatinkan dikuak satu persatu, di mana ruang-ruang privasi seolah sudah ikut terbeli. Niatnya baik, katanya.
Untuk berbagi disertai dengan sejumlah hikmah, di antaranya hendaklah kita bersyukur karena di luar sana masih banyak orang yang tidak seberuntung kita.
Acara berlangsung dengan hikmat. Si penerima ‘rezeki’ mungkin tidak akan sadar bahwa baru saja hidupnya sudah terbeli oleh stasiun televisi tertentu (Kartini).
Televisi terhadap Kemiskinan: Kubeli Kau Sekarang!
Read Also
Oleh : Muh. Haidir hakim, S.P., M.Si POROSMAJU.COM…
Oleh : Rahmat Ariandi, S.Hut., M.Hut – Dosen…